Mencirikan produk sayur organik bukan sekadar memilih yang bolong pertanda bekas dimakan ulat. Apa ciri produk pangan organik? Bagaimana konsumen bisa mengenalinya? Masalah keaslian produk, memang masih menjadi pertanyaan besar di antara konsumen. Dulu, banyak orang berpedoman pada bentuk fisik yang jelek tidak mulus misalnya daun selada yang berlubang, wortel yang bengkok dan semacamnya, bisa dianggap sebagai sayur organik yang asli. Tapi cara ini banyak disanggah oleh para petani organik. Menurut mereka, cara bertani dengan pengawasan yang baik, tidak mustahil bisa dihasilkan sayur yang mulus dan bersih.
Untuk dinyatakan sebagai pangan organik, cara bertaninya harus memenuhi persyaratan sistem pertanian organik. Bukan semata-mata tidak menggunakan pestisida, tetapi secara keseluruhan sistem pertaniannya menerapkan prinsip organik. Ada 17 prinsip, antara lain memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitasyang berkelanjutan, mengendalikan tanaman pengganggu/gulma, hama, dan penyakit dengan cara-cara alami (misalnya daur ulang residu tanaman dan ternak, menggilir dan menyeleksi tanaman, pengadaan pengairan, penggunaan bahan hayati dan lain-lain), sehingga mampu mempertahankan keseimbangan dan keselarasan alam.
Satu-satunya cara yang paling sah sebagai tanda pengenal organik adalah sertifikat organik pada label kemasan yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi serta diakui pemerintah. Jangan begitu saja percaya pada tulisan “organik” jika tidak ada sertitifikasi, mengingat tulisan organik bisa saja asal tempel.
Sekarang ini masyarakat organik kita sudah menunggu, moga-moga pemegang otoritas pangan organik yang baru ini bisa berakselerasi, mempercepat langkahnya, mengatur sertifikasi. Kalau tidak, kemungkinan besar konsumen akan membeli bahan organik dari luar. Tentu saja upaya mendapatkan sertifikasi ini juga menuntut biaya yang tidak sedikit, yang sebagian dibebankan kepada konsumen. Inilah yang ikut melambungkan harga produk pangan organik.
Padahal jika berdasar perhitungan cara bertani organik, biaya produksi justru rendah karena minim pemakaian pupuk dan obat-obatan. Pada tahun-tahun awal memang terjadi shock produksi, karena pemakaian pupuk dan obat-obatan dihentikan. Pengolahan tanah diubah. Namun berdasar kajian, setelah lewat 3 tahun hasil pertanian organik meningkat dan setelah melewati tahun ketujuh, produktivitasnya justru melebihi cara pertanian konvensional.
Penyebab harga yang relatif mahal justru disebabkan faktor propaganda atau promosi. Dalam masyarakat kita saat ini sudah tumbuh kesadaran bahwa mengkonsumsi produk organik yang dianggap minim tingkat residu zat kimia sintetis ini mampu menyehatkan. Sebagai konsekuensinya, logis saja jika membeli produk bernilai tambah membutuhkan additional cost alias lebih mahal.
Dugaan ini dibenarkan oleh pengusaha kebun organik. Faktor label atau sertifikat yang menjadi jaminan agar dipercaya konsumen, membutuhkan biaya yang cukup besar. Selain itu upaya kehati-hatian para petani untuk menjaga mutu produk organiknya juga memerlukan tambahan usaha dan biaya. Cukup fair kan!
Untuk dinyatakan sebagai pangan organik, cara bertaninya harus memenuhi persyaratan sistem pertanian organik. Bukan semata-mata tidak menggunakan pestisida, tetapi secara keseluruhan sistem pertaniannya menerapkan prinsip organik. Ada 17 prinsip, antara lain memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitasyang berkelanjutan, mengendalikan tanaman pengganggu/gulma, hama, dan penyakit dengan cara-cara alami (misalnya daur ulang residu tanaman dan ternak, menggilir dan menyeleksi tanaman, pengadaan pengairan, penggunaan bahan hayati dan lain-lain), sehingga mampu mempertahankan keseimbangan dan keselarasan alam.
Satu-satunya cara yang paling sah sebagai tanda pengenal organik adalah sertifikat organik pada label kemasan yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi serta diakui pemerintah. Jangan begitu saja percaya pada tulisan “organik” jika tidak ada sertitifikasi, mengingat tulisan organik bisa saja asal tempel.
Sekarang ini masyarakat organik kita sudah menunggu, moga-moga pemegang otoritas pangan organik yang baru ini bisa berakselerasi, mempercepat langkahnya, mengatur sertifikasi. Kalau tidak, kemungkinan besar konsumen akan membeli bahan organik dari luar. Tentu saja upaya mendapatkan sertifikasi ini juga menuntut biaya yang tidak sedikit, yang sebagian dibebankan kepada konsumen. Inilah yang ikut melambungkan harga produk pangan organik.
Padahal jika berdasar perhitungan cara bertani organik, biaya produksi justru rendah karena minim pemakaian pupuk dan obat-obatan. Pada tahun-tahun awal memang terjadi shock produksi, karena pemakaian pupuk dan obat-obatan dihentikan. Pengolahan tanah diubah. Namun berdasar kajian, setelah lewat 3 tahun hasil pertanian organik meningkat dan setelah melewati tahun ketujuh, produktivitasnya justru melebihi cara pertanian konvensional.
Penyebab harga yang relatif mahal justru disebabkan faktor propaganda atau promosi. Dalam masyarakat kita saat ini sudah tumbuh kesadaran bahwa mengkonsumsi produk organik yang dianggap minim tingkat residu zat kimia sintetis ini mampu menyehatkan. Sebagai konsekuensinya, logis saja jika membeli produk bernilai tambah membutuhkan additional cost alias lebih mahal.
Dugaan ini dibenarkan oleh pengusaha kebun organik. Faktor label atau sertifikat yang menjadi jaminan agar dipercaya konsumen, membutuhkan biaya yang cukup besar. Selain itu upaya kehati-hatian para petani untuk menjaga mutu produk organiknya juga memerlukan tambahan usaha dan biaya. Cukup fair kan!
Komentar
Posting Komentar